12 Juni 2016

19.27 , No comments
Desa bukan sekadar rezim/sistem pemerintahan. Bukan pula hanya sekadar wilayah
administratif, wilayah dan lokasi pembangunan, pemukiman penduduk, atau unit
masyarakat. Desa juga sebagai bangunan sosiologis, atau bisa juga disebut sebagai
basis sosial bagi masyarakat. Romo Driyarkara, misalnya, mengatakan bahwa desa
adalah kesatuan organik yang bulat. 


Sebagai sebuah kesatuan organik, desa memiliki masyarakat, masyarakat memiliki
desa. Desa memiliki masyarakat berarti desa ditopang oleh institusi lokal atau modal sosial. Dalam UU Desa hal ini tercermin pada asas kekeluargaan, kebersamaan dan
kegotongroyongan. Sementara masyarakat memiliki desa bisa disebut juga sebagai
tradisi berdesa, atau masyarakat menggunakan desa sebagai basis dan arena
bermasyarakat, bernegara, berpolitik atau berpemerintahan oleh masyarakat. 

Berdesa juga berarti memandang dan memperlakukan desa laksana “negara
kecil”, sebab desa memiliki wilayah, kekuasaan, pemerintahan, tatanan,  masyarakat,
sumberdaya lokal dan lain-lain. Sebagai negara kecil desa berfungsi sebagai basis
sosial, basis politik, basis pemerintahan, basis ekonomi, basis budaya dan basis
keamanan. Semua itu bisa disebut sebagai basis kehidupan dan penghidupan. Basis ini
merupakan fondasi. Jika fondasi negara kecil ini kuat maka bangunan besar atau
negara besar yang bernama NKRI akan menjadi lebih kokoh. Sebagai basis sosial, desa
merupakan tempat menyemai dan merawat modal sosial (kohesi sosial, jembatan
sosial, solidaritas sosial dan jaringan sosial) sehingga desa mampu bertenaga secara
sosial. Sebagai basis politik, desa menyediakan arena kontestasi politik bagi
kepemimpinan lokal, sekaligus arena representasi dan partisipasi warga dalam
pemerintahan dan pembangunan desa. Dengan kalimat lain, desa menjadi arena bagi
demokratisasi lokal yang paling kecil dan paling dekat dengan warga. Sebagai basis
pemerintahan, desa memiliki organisasi dan tatapemerintahan yang mengelola
kebijakan, perencanaan, keuangan dan layanan dasar yang bermanfaat untuk warga.

Sebagai basis ekonomi, desa sebenarnya mempunyai aset-aset ekonomi (hutan, kebun,
sawah, tambang, sungai, pasar, lumbung, perikanan darat, kerajinan, wisata, dan
sebagainya), yang bermanfaat untuk sumber-sumber penghidupan bagi warga. Sudah
banyak contoh yang memberi bukti-bukti tentang identitas ekonomi yang memberikan
penghidupan bagi warga: desa cengkeh, desa kopi, desa vanili, desa keramik, desa
genting, desa wisata, desa ikan, desa kakao, desa madu, desa garam, dan lain-lain

Hakekat desa sebagai basis kehidupan dan penghidupan itu ditemukan dalam
lintasan sejarah. Banyak cerita yang memberikan bukti bahwa desa bermakna dan
bermanfaat bagi warga dan republik. Buku Soetardjo Kartohadikoesoemo (1954) telah
banyak membeberkan peran dan manfaat desa bagi banyak orang di masa lalu, seperti
menjaga keamanan desa, mengelola persawahan dan irigasi, penyelesaian sengketa,
pendirian sekolah-sekolah rakyat dan sekolah dasar, dan masih banyak lagi. Dalam hal
hukum dan keadilan, studi Bank Dunia menunjukkan bahwa masyarakat lebih banyak
memilih kepala desa (42 persen) dan tokoh masyarakat (35 persen) ketimbang
pengadilan (4 persen) dalam menyelesaikan masalahnya (Bank Dunia, Justice for Poor,
2007). Pengalaman ini yang menjadi salah satu ilham bagi Suhardi Suryadi dan Widodo
Dwi Saputro (2007) menggagas dan mempromosikan balai mediasi desa, sebagai salah
satu alternatif yang paling layak untuk melibatkan masyarakat dalam proses
penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Gagasan tentang community justice sytem
berbasis desa ini memang berasalan karena sejarah telah membuktikan bahwa
desa/masyarakat adat memiliki akar sosial-budaya yang secara adil menyelesaikan
sengketa secara lokal. 

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung ke situs ini. Silahkan isi komentar/tanggapan anda

Recent Post

Popular Posts

Blog Archive