Konsep Pemberdayaan
A. Pengertian Pemberdayaan
Pembangunan sosial dalam pelaksanaannya selalu mengupayakan terjadinya
pemberdayaan masyarakat. Munculnya konsep pemberdayaan pada awalnya menekankan
kepada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau
kemampuan kepada masyarakat, kelompok atau individu agar menjadi lebih berdaya.
Selanjutnya menekankan pada proses menstimulasi, mendorong dan memotivasi
individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang
menjadi pilihan hidupnya (Pranarka, 1996:
56-57). Jadi dalam proses pemberdayaan terdapat dua pihak yang saling terkait.,
Yakni unsur luar barupa lembaga maupun individu yang memberi kekuatan (power to powerless) dan pihak yang
mengalami proses pemberdayaan (empowerment
to powerless) sehingga punya kekuatan untuk dapat mengambil peran berharga
bagi lingkungan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa inti pemberdayaan adalah upaya
untuk mengubah keadaan individu atau kelompok agar menjadi lebih berdaya.
Menurut Kartasasmita, 1996:
“Keberdayaan masyarakat adalah
unsur dasar yang memungkinkan suatu masyarakat bertahan, dan dalam pengertian
yang dinamis mengembangkan diri dan mencapai kemajuan. Keberdayaan masyarakat
ini menjadi sumber dari apa yang didalam wawasan politik disebut sebagai
ketahan nasional. Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan
harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu
untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan
kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat”.
Dari
uraian diatas jelaslah bahwa pemberdayaan tidak hanya diperuntukkan kelompok
atau masyarakat saja. Pengertian pemberdayaan juga termasuk keberdayaan
individu. Keberdayaan individu dapat dilihat dari kemampuan untuk berpikir
kretaif, inovatif, mandiri dan dapat mendayagunakan semua pengetahuan yang
dimiliki sehingga mampu membangun dirinya sendiri dan membangun lingkungannya.
Selain itu, pemberdayaan yang dimaksud untuk meningkatkan kualitas sumberdaya
manusia agar mampu mendukung proses pembangunan.
Dengan
demikian pemberdayaan yang dilakukan akan dapat memberi manfaat terhadap
partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Karena dalam pemberdayaan tersebut
ada upaya-upaya meningkatkan kapasitas masyarakat melalui upaya penyiapan
sumberdaya manusia yang dapat memenuhi kebutuhan pembangunan. Hal ini sejalan
dengan pengertianpemberdayaan yang dikembangkan oleh Ife, 1995, yaitu:
“Pemberdayaan berarti menyiapkan
kepada masyarakat sumberdaya, kesempatan, pengetahuan dan keahlian untuk
meningkatkan kapasitas mereka dalam menentukan masa depan mereka serta
berpartisipasi dan mempengaruhi dalam kehidupan komunitas mereka”.
Selanjutnya, Ife, 1995
juga mengemukakan bahwa memberdayakan masyarakat mengandung makna
mengembangkan, memandirikan, menswadayakan dan memperkuat posisi tawar menawar
masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan mereka disegala bidang.
Berdasarkan
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa inti dari pemberdayaan adalah pemunculan
daya atau penguatan yang lemah. Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses,
dimana kekuatan masyarakat dalam pengambilan keputusan pembangunan lebih
dominan, dan dalam pelaksanaannya peranan masyarakat lebih diutamakan. Hal ini
mungkin dicapai dengan menguatkan kapasitas mereka melalui pemberian
kesempatan, keahlian dan pengetahuan sehingga mereka mampu untuk menggali dan
memanfaatkan potensi yang mereka miliki. Atau dengan kata lain pemberdayaan
adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasi dan
membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk
mengembangkannya (Kartasamita, 1996:
145).
B. Proses Pemberdayaan
Dalam
proses pemberdayaan hal yang dilakukan seorang pelaku perubahan terhadap target
perubahan baik pada tingkat individu, keluarga, kelompok ataupun komunitas
adalah upaya mengembangkan dari keadaan tidak atau kurang berdaya menjadi
mempunyai daya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Sehingga target
perubahan tersebut mempunyai kekuatan dalam penentuan keputusan dan tindakan
atas hidup mereka dengan meningkatnya kapasitas dirinya. Proses tersebut bisa
terjadi dengan menggunakan atau melalui transfer daya dari lingkungan ke target
perubahan. (Dayal, 1997: 266)
Proses
pemberdayaan sendiri mengandung dua kecenderungan (Hikmat, 2001: 43). Pertama proses pemberdayaan yang
menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan
atau kemampuan kepada masyarakat agar individu yang bersangkutan menjadi lebih
berdaya (survivalof fittes). Proses ini dapat dilengkapi dengan upaya membangun
aset material guna mendukung pembangunan kemandirian melalui organisasi.
Kecenderungan atau proses yang pertama ini dapat disebut sebagai kecenderungan
primer dari makna pemberdayaan. Kedua, atau kecenderungan sekunder, menekankan
pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi agar individu mempunyai
kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya
proses dialog. Diantara kedua proses pemberdayan tersebut saling terkait.
Artinmya agar kecenderungan primer dapat terwujud, seringkali harus melalui
kecenderungan sekunder terlebih dahulu (Pranarka dan Vidhyandika, 1996 dalam
Hikmat, 2001: 44).
Menurut
Kartasasmita, 1996, upaya memberdayakan masyarakat haruslah pertama-tama
dimulai dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi
masyarakat masyarakat berkembang. Di sini titik tolaknya adalah pengenalan
bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat
dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya,
karena, kalau demikian akan sudah punah. Lebih lanjut Kartasasmita menerangkan
bahwa proses pemberdayaan merupakan:
“Sebagai upaya untuk memberikan
kekuatan dan kemampuan, sehingga didalam pemberdayaan mengandung dua pihak yang
perlu ditinjau dengan seksama yaitu pihak yang diberdayakan dan pihak yang
memberdayakan. Agar dapat memperoleh hasil yang memuaskan diperlukan komitmen
yang tinggi dari kedua pihak. Dari pihak pemberdaya harus beranjak dari
pendekatan bahwa masyarakat tidak dijadikan obyek dari berbagai program dan program pembangunan, akan tetapi
merupakan subyek dari upaya pembangunan sendiri. Untuk itu, maka dalam
pemberdayaan masyarakat, harus mengikuti pendekatan yang terarah, dilaksanakan
oleh masyarakat yang menjadi kelompok sasaran dan menggunakan pendekatan
kelompok”.
Hal yang sangat penting
dalam proses pemberdayaan adalah nuansa yang humanis. Dalam arti pemberdayaan
tidak hanya dimaksudkan untuk mengembangkan potensi ekonomi masyarakat, tetapi
juga harkat dan martabat, rasa percaya diri dan harga diri serta terpeliharanya
tatanan nilai sosial budaya setempat. Dengan kata lain proses pemberdayaan
tidak hanya memberikan nilai tambah ekonomis tetapi juga nilai tambah sosial
budaya (Hikmat, 2001: 100)
Kemudian
dalam melakukan proses pemberdayaan para agen perubahan (community worker), dapat melakukan dua pendekatan melalui
intervensi makro dalam pengembangan masyarakat, sebagaimana disebutkan Batten
dalam Adi, 2003, yaitu:
1. Pendekatan Direktif
Pendekatan
direktif atau pendekatan instruktif adalah pendekatan yang dilakukan
berdasarkan asumsi bahwa community worker
tahu apa yang dibutuhkan dan apa yang baik untuk masyarakat. Dalam pendekatan
ini peranan community worker bersifat
lebih dominan karena prakarsa kegiatan dan sumber daya yang dibutuhkan llebih
banyak berasal dari community worker.
Community worker-lah yang menetapkan
apa yang baik dan buruk bagi masyarakat, cara-cara apa yang perlu dilakukan
untuk memperbaikinya, dan selanjutnya menyediakan sarana yang diperlukan untuk
perbaikan tersebut. Dengan
pendekatan seperti ini, prakarsa dan pengambilan keputusan berada di tangan community worker.
Dengan pendekatan ini banyak hasil yang diperoleh, tetapi
hasil yang diperoleh lebih terkait dengan tujuan jangka pendek dan seringkali
lebih bersifat pencapaiana secara fisik. Pendekatan ini menjadi
kurang efektif untuk mencapai hal-hal yang sifatnya jangka panjang ataupun
perubahan yang lebih mendasar yang berkaitan dengan perilaku seseorang. Hal ini
antara lain disebabkan akan perlunya perubahan pengetahuan (knowledge), keyakinan (belief), sikap (attitude) dan niat (intention)
individu sebelum terjadinya perubahan perilaku (over behaviour), bila agen perubahan (change agent) menginginkan perubahan yang terjadi bukanlah
perubahan yang bersifat temporer.
Penggunaan
pendekatan ini juga mengakibatkan berkurangnya kesempatan untuk memperoleh
pengalaman belajar dan masyarakat, sedangkan bagi masyarakat, segi yang buruk adalah dapat munculnya
ketergantungan terhadap kehadiran orang luar sebagai agen perubahan, karena
pendekatan direktif seringkali juga disebut sebagai pendekatan yang bersifat
instruktif (Adi, 2003: 230)
2.Pendekatan Non-Direktif
Pendekatan non-direktif atau
partisipatif dilakukan berlandaskan asumsi bahwa masyarakat tahu apa yang
sebenarnya mereka butuhkan dan apa yang baik untuk mereka. pada pendekatan ini community worker tidak menempatkan diri
sebagai orang yang menetapkan apa yang baik atau buruk bagi suatu masyarakat.
Pemeran utama dalam perubahan masyarakat adalah masyarakat itu sendiri, community worker lebih bersifat manggali
dan mengembangkan potensi masyarakat. Masyarakat diberikan kesempatan untuk
membuat analisis dan mengambil keputusan yang berguna bagi mereka sendiri,
serta mereka diberi kesempatan penuh dalam penentuan cara-cara untuk mencapai
tujuan yang mereka inginkan.
Peran community worker disini berubah menjadi katalisator, pemercepat
perubahan yang membantu mempercepat perubahan terjadinya perubahan dalam suatu
masyarakat. Dengan menggunakan pendekatan ini, community worker berusaha untuk merangsang tumbuhnya kemampuan
masyarakat untuk menentukan arah llangkahnya sendiri (self-determination) dan kemampuan untuk menolong dirinya sendiri (self help) (Batten dalam Adi, 2003: 231). Tujuan dari pendekatan non
direktif dalam upaya pengembangan masyarakat adalah agar masyarakat memperoleh
pengalaman belajar untuk mengembangkan dirinya (masyarakat tersebut) melalui
pemikiran dan tindakan yang dirumuskan oleh mereka. pendekatan non direktif ini
sering juga dianggap sebagai pendekatan yang bersifat partisipatif
Rothman,
1976 menjelaskan bahwa kegiatan-kegiatan yang berbasis community development paling tidak disusun berdasarkan
prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.
Program yang ditetapkan harus dari bawah.
2.
Oleh dan
bersama masyarakat setempat yang akan melaksanakan kegiatan tersebut.
3.
Program yang akan dilaksanakan harus sesuai dengan
kemampuan masyarakat setempat dengan melihat sumberdaya dan dana yang ada di
masyarakat setempat yang dapat mendukung berjalannya suatu kegiatan.
4.
Adanya peranan masyarakat melalui bentuk kerjasama untuk
membantu kelancaran program.
Sedangkan keberhasilan suatu kegiatan community development lazimnya diukur
dengan:
1.
Konsistensi antara kebijakan di satu pihak dan
perencanaan serta pelaksanaan kegiatan dipihak lain. Kesalahan perencanaan ini
dapat berwujud kurang tepatnya kelompok sasaran yang dituju.
2.
Adanya proses penyebaran informasi (sharing information). Pada
tahap ini perancang dan pengelola kegiatan dalam memberikan informasi kepada
kelompok-kelompok sasaran harus berusaha agar kelompok-kelompok sasaran
tersebut dapat memahami serta melaksanakan kegiatan yang baik.
3.
Peranan tenaga pendamping program dalam kegiatan
pengembangan masyarakat. Hal ini tentunya harus didukung dengan kualifikasi dan perspektif yang
memadai.
4.
Kegiatan atau program yang dilaksanakan masyarakat
tersebut memperlihatkan hasil yang nyata dan berlangusng terus-menerus atau sustainability.
Dengan pendekatan yang partisipatif atau pendekatan yang
berorientasi pada proses pemberdayaan dari bawah (bottom up), menurut Mikkelsen, 2003 memperoleh beberapa keuntungan
yaitu:
1.
Data dikumpulkan, dikaji dan dicoba secara langsung oleh
pemakai.
2.
Pemecahan masalah sendiri langsung dapat dicoba selama berlangsung proses itu
sendiri.
3.
Menjadi meningkat penghargaan atas masalah yang diahadapi
para stakeholder, konteks kebudayaan serta perubahan kondisi.
4.
Kelemahan dan kekuatan langsung dipahami oleh mereka yang
ikut dalam proses
5.
Semakin meningkat motivasi masyarakat untuk
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan karena mereka sendiri memahami
masalah yang dihadapi.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat dilihat bahwa dalam
proses pemberdayaan terdapat dua pihak yang saling berhubungan yaitu pihak yang memberdayakan atau lebih sering disebut
sebagai agen perubahan (change agent)
atau community worker atau tenaga
pendamping dan piohak yang diberdayakan. Dalam melakukan pemberdayaan, pihak
pemberdaya perlu memilah-milah strategi pemberdayaan yang tepat dan sesuai
dengan kondisi target perubahan.
C. Strategi Pemberdayaan
Kata
pemberdayaan (empowerment)
mengesankan arti adanya sikap mental yang tangguh atau kuat (Hikmat, 2001: 43)). Untuk dapat menciptakan
masyarakat yang mampu mendukung pelaksanaan program pembangunan diperlukan
strategi pemberdayaan melalui pengembangan kreativitas, inovasi dan
pendayagunaan modal intelektual sebagai kekayaan bagi organisasi guna
menghadapi masa depan. Kreativitas merupakan pengembangan ide baru dan inovasi
merupakan proses penerapan ide tersebut secara aktual dalam praktek. Tantangan
terbesar bagi pemerintah dalam proses pemberdayaan adalah mempengaruhi
masyarakat untuk menerima ide baru kemudian berhasil mengimplementasikan ide
tersebut. Untuk itu diperlukan strategi-strategi pendekatan masyarakat
sebagaimana diungkapkan oleh Beratha, 1982, yaitu:
1.
Strategi persuasive, dimana yang terpenting
adalah mengadakan perubahan sikap seseorang atau segolongan orang
2.
Strategi compulsion, membuat situasi sedemikian
rupa sehingga orang terpaksa secara tidak langsung mengubah sikapnya
3.
Strategi pervasion, mengulang apa yang diharapkan
akan masuk dalam bidang bawah sadar seseorang sehingga mengubah diri sesuai
dengan apa yang diulangi
4.
Strategi coervision, memaksa secara langung
pengadaan perubahan sikap dengan adanya hukum fisik ataupun materi
Sedangkan
menurut Rappaport, 1985 dalam Hikmat (2001:
43), praktek dan kegiatan yang berbasis pemberdayaan adalah bahasa pertolongan
yang diungkapkan dalam bentuk simbol-simbol. Simbol-simbol tersebut kemudian
meng-komunikasikan kekuatan yang tangguh untuk mengubah hal-hal yang terkandung
dalam diri sendiri (inner space), orang-orang-orang lain
yang dapat dianggap penting, serta masyarakat disekitar. Elaborasi dari
pemikiran tersebut secara keseluruhan akan dapat memperkaya dan menjiwai
pemahaman global mengenai pemberdayaan.
Selanjutnya untuk mencapai perubahan dalam masyarakat
dari tidak berdaya menjadi berdaya, dapat dilakukan dengan metode (Beratha,
1982):
1.
Memberikan pengetahuan
(informasi) baru
2.
Mengadakan
diskusi-diskusi dalam kelompok-kelompok kecil, mengenai pengetahuan,
masalah-masalah dan kejadian-kejadian baru
3.
Mengadakan
kegiatan-kegiatan dalam kelompok kecil
4.
Menciptakan
wadah baru
Menurut
Hikmat (2001: 44), dalam strategi
pemberdayaan harus dilakukan dengan pendekatan kerja bersama sebagai mitra
kolabaratif dan kerjasama kolaboratif merupakan aktualisasi pemberdayaan.
Menurut Dubois dan Miley, 1996 dalam Hikmat (2001: 45) pemecahan masalah melalui pemberdayaan melalui
tahapan-tahapan sebagai berikut:
1.
Dialog
a)
Persiapan kerjasama
b)
Pembentukan kemitraan
c)
Artikulasi tantangan
d)
Identifikasi sumber kekuasaan
e)
Penentuan arah
2.
Penemuan
a)
Pemahaman sistem sumber
b)
Analisis kapasitas sumber
c)
Menyusun frame pemecahan masalah
3.
Pengembangan
a)
Mengaktifkan sumber
b)
Memperluas kesempatan
c)
Mengakui temuan-temuan
d)
Mengintegrasikan kemajuan
Dalam
model strategi diatas, sejak awal proses pemecahan masalah berbasiskan
pemberdayaan masyarakat yang berdasarkan prinsip bekerja bersama masyarakat dilandasi
oleh prinsip bahwa masyarakat mempunyai hak-hak yang harus dihargai.
Berbagai
strategi pemberdayaan sebenarnya telah banyak dicoba untuk diterapkan pada
program-program pembangun, namun cenderung mengalami kegagalan untuk mengatasi
masalah dan meningkatkan self sustain
capability masyarakat. Untuk itu strategi pemberdayaan yang dilakukan
hendaknya memberi tekanan pada otonomi pengambilan keputusan dari suatu kelompok masyarakat yang berlandaskan pada
sumber-sumber daya pribadi, langsung (melebihi partisipasi), demokratis dan
pembelajaran sosial melalui pengalaman langsung (Kartasamita, 1996: 145). Selain itu, agar masyarakat
dapat mengemukakan dan menyalurkan aspirasi, permintaan dan tuntutannya kepada
pemerintah, dalam pelaksanaan program pembangunan hendaknya diterapkan strategi
bottom up.
Agar
pemberdayaan yang dilakukan dapat mencapai hasil yang memuaskan diperlukan
komitmen yang tinggi, baik dari pihak yang memberdayakan maupun pihak yang
diberdayakan. Dari pihak pemberdaya harus melakukan pendekatan dengan memandang
bahwa masyarakat bukan merupakan obyek dari berbagai program pembangunan, akan
tetapi merupakan subyek dari upaya pembangunan itu sendiri (Kartasasmita, 1996: 144).
Selanjutnya
Kartasasmita, (1996: 159-160)
menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat, harus melalui tiga
jurusan, yaitu:
1.
Menciptakan
suasana atau iklim yang memungkinkan potensi
masyarakat berkembang (enabling).
Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap
masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada
masyarakat yang sama sekali tanpa daya. Karena, kalau demikian akan sudah
punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu dengan mendorong (encorage),memotivasi dan membangkitkan
kesadaran (awareness) akan potensi
yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya
2.
Memperkuat
potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih
positif selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi
langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input) serta pembukaan akses kepada
berbagai peluang (opportunities) yang
akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya
3.
Memberdayakan
mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang
lemah menjadi bertambah lemah, karena kurang berdaya dalam menghadapi yang
kuat. Oleh karena itu, dalam konsep pemberdayaan masyarakat, perlindungan dan
pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya.
Sedangkan
Rothman, 1976 mengungkapkan bahwa pelaksanaan pembangunan yang dituju untuk
memberdayakan masyarakat harus memenuhi beberapa persyaratan pokok, antara lain: (a) Kegiatan yang dilaksanakan harus
terarah dan menguntungkan bagi masyarakat yang lemah terbelakang dan
tertinggal; (b) Pelaksanaannya dilaksanakan oleh masyarakat itu sendiri,
dimulai dari penjajagan kebutuhan hingga evaluasi kegiaitan; (c) Karena
masyarakat sulit bekerja sendiri-sendiri akibat kekuarangan keberdayaannya,
maka upaya pemberdayaan menyangkut pulapengembangan kegiatan bersama (kooperatif)
dalam kelompok yang dapat dibentuk atas dasar wilayah tempat tinggal, jenis
usaha atau kesamaan latar belakang dan (d) menggerakkan partisipasi yang luas
dimasyarakat.
Berdasarkan
uraian diatas dapat dilihat bahwa sebenarnya banyak strategi-strategi
pemberdayaan yang dirumuskan oleh para ahli. Pada intinya semua strategi
pemberdayaan menekankan akan pentingnya komitmen dari pihak pemberdaya untuk
mengurangi kekuatan dan kekuasaan mereka dan memandang pihak yang diberdayakan
bukanlah sebagai obyek. Dengan demikian pihak yang diberdayakan harus
ditempatkan pada posisi sentral, sehingga dapat menumbuhkan kekuatan dan
kemampuan untuk menentukan masa depan sendiri. Atau dengan kata lain,
pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada
berbagai program pemberian (charity),
karena pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha
sendiri (Kartasasmita. 1996:160).
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung ke situs ini. Silahkan isi komentar/tanggapan anda