Baliho Transparansi desa (detik.com) |
Dalam konteks politik ekonomi yang lebih luas, keuangan Desa harus dipandangan dari tiga sisi yaitu: 1) hubungan negara dengan desa; 2) hubungan pemerintah desa dengan masyarakat desa; dan 3) pengelompokkan sosial di dalam desa.
Komponen penting dari keuangan desa menurut UU Desa adalah „dana transfer‟ dari pemerintah pusat (yang selanjutnya disebut Dana Desa/DD) dan dari pemerintah daerah (yang disebut dengan Alokasi Dana Desa/ADD dan bagi hasil pajak dan retribusi daerah untuk desa). Dalam konteks hubungan negara dengan desa, dukungan negara melalui pemerintah dan pemerintah daerah terhadap keuangan desa dalam bentuk "dana transfer‟ tidak dapat dipandang sebagai "hadiah dan budi baik‟, melainkan "kewajiban‟ negara sebagai implikasi dari pengakuan negara terhadap hak-hak tradisional desa sekaligus juga sebagai dukungan kepada desa untuk menjalankan fungsi-fungsi subsidiaritas. Ini disebabkan karena "kewenangan asal-usul‟ sebagai pengejawantahan prinsip pengakuan dan "kewenangan lokal skala desa‟ sebagai pengejewantahan prinsip subsidiaritas dari sisi substansi adalah menjalankan fungsifungsi publik yang merupakan kewajiban negara.
Ketika kewajiban tersebut diambil alih oleh desa, maka sebagai implikasinya sumber daya keuangan untuk mengelola fungsi-fungsi publik tersebut juga beralih ke desa. Dengan kata lain, alokasi keuangan pemerintah dan pemerintah daerah merupakan belanja wajib, yang merupakan hak desa.
Dari sisi ekonomi makro dan pembangunan wilayah, dana transfer ke desa merupakan upaya serius negara untuk meingkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejateraan masyarakat desa. Menurut Budiman Sudjatmiko (Kompas, 9 Juli 2015), dana desa akam mendorong terjadinya pertumbuhan desa yang berpotensi menyejahterakan masyarakatnya. Pertama, pertumbuhan alamiah atau pertumbuhan yang terjadi secara natural tanpa dipengaruhi kebijakan belanja dari pemerintah.
Mengingat persentase dana belanja langsung pemerintah ke desa sebelum adanya UU Desa sangat kecil, kita anggap saja besarannya mengikuti pertumbuhan ekonomi nasional, antara 4 dan 8 persen. Kedua, pertumbuhan langsung atau pertumbuhan yang terjadi akibat langsung dari belanja pemerintah. Jika total dana desa sudah dioptimalkan 100 persen (sesuai dengan amanat Pasal 72 Ayat 2) hingga mencapai Rp103,6 triliun (dari APBN dan APBD) dan nilai pendapatan penduduk desa hasil penghitungan adalah Rp 3.381,8 triliun, potensi pertumbuhan langsung adalah 3,06persen. Ketiga, pertumbuhan rentetan atau pertumbuhan yang terjadi akibat efek rentetan (multiplier) dari belanja pemerintah. Masuknya dana ke desa dapat memacu usaha baru di desa tersebut. Sebuah usaha baru dapat memacu timbulnya usaha baru lainnya, demikian seterusnya.
Kombinasi pertumbuhan alamiah, langsung, dan pertumbuhan rentetan berpotensi meningkatkan pendapatan penduduk desa mendekati 10 persen per tahun. Apabila pertumbuhan desa dapat dipacu di atas rata-rata nasional, diharapkan tingkat kesenjangan akan berkurang secara signifikan. Pada akhirnya optimalisasi dana desa merupakan sebuah peluru yang dapat menembak dua sasaran secara bersamaan: mendorong pertumbuhan sekaligus mengurangi kesenjangan. Karena itulah maka UU Desa membuka kemungkinan bagi desa untuk mengalokasikan belanja desa untuk kegiatan ekonomi (BUM Desa), pelyanan dan infrastruktur dasar, sekaligus mengekskalasi efisiensi alokasi melalui kerja sama antar desa.
Dalam konteks hubungan pemerintah desa dengan masyarakat, yang perlu difahami adalah bahwa desa pada dasarnya adalah „kesatuan masyarakat hukum‟ yang oleh UU Desa diakui mampu menjalankan tata kelola bersama (self governing community) untuk mencapai tujuan kesejahteraan. Sebagai satuan pemerintahan dengan unit terkecil dan terdekat dengan masyarakat, maka hubungan pemerintah dengan masyarakat menjadi hubungan yang sifatnya „face to face‟ dan langsung.
Dengan jenis hubungan seperti ini maka responsifitas pemerintahan desa terhadap kebutuhan masyarakat di satu sisi, dan di sisi lain partisipasi masyarakat menjadi satu keniscayaan yang harus terus dipelihara dan dikembangkan.
Sebagai implikasi dari hubungan tersebut, maka perencanaan, pelaksanaan dan monitoring anggaran bukan menjadi hak eksklusif dari pemerintahan desa, melainkan dibentuk oleh hubungan langsung antara pemerintahan desa yang responsif terhadap kebutuhan warga dengan warga desa yang berpartisipasi aktif dalam pembangunan dan pemberdayaan. Karena itulah UU Desa mengembangkan wahana-wahana bertemuanya pemerintah (supply) dan warga (demand) seperti: informasi desa, musyawarah desa, musyawarah pembangunan desa, dan konsep swakelola pelaksanaan pembangunan desa. Wahana-wahana ini harus terus diisi dengan „demokrasi yang substantif‟ yaitu demokrasi dalam mengalokasikan sumber daya bersama berdasarkan pada kebutuhan masyarakat yang akan direspon melalui instrumen pengalokasian keuangan desa.
Isu ketiga yang sangat penting adalah bahwa desa bukanlah satu entitas yang homogen, melainkan terdiri dari kelompok-kelompok dan stratifikasi sosial berdasarkan pekerjaan, jenis kelamin, lama tinggal, agama dll. Dalam kontek pengelompokkan dan strata sosial inilah maka menjadi penting dijaga agar sumber daya desa –dalam hal ini keuangan- tidak dimonopoli dan hanya melayani kepentingan kelompok elit desa. Sebaliknya keuangan desa harus menjadi instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan kelompok terbawah dari masyarakat yaitu kelompok miskin dan kelompok yang tereksklusi secara sosial politik seperti kelompok minoritas yang lemah, kelompok perempuan dalam struktur masyarakat yang patriarkhat dan kelompok yang memiliki keterbatasan fisik (disable). Pasal 74 UU Desa menyatakan” Belanja Desa diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan yang disepakati dalam Musyawarah Desa..”.
“Kebutuhan pembangunan meliputi, tetapi tidak terbatas pada kebutuhan primer, pelayanan dasar, lingkungan, dan kegiatan pemberdayaan masyarakat Desa”. Pasal ini sesuai dengan tujuan dari pembangunan desa yaitu: “..meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana Desa,pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan”.
Dengan demikian maka alokasi dalam keuangan desa haruslah merupakan bentuk dari „affirmasi‟. Affirmasi, secara substantif berarti alokasi keuangan desa harus dapat secara langsung mengurangi kemiskinan melalui belanja kebutuhan primer, pemenuhan sarana dan prasarana dasar, dan pemberdayaan masyarakat. Yang perlu dicatat adalah bahwa kebutuhan kelompok miskin dan kelompok yang tersisihkan –misalnya kelompok perempuan dan kelompok minoritas- tidak selalu sama dengan kebutuhan mayoritas. Mendukung keadilan dan inklusi sosial kadang-kadang berarti mengalokasikan sumber daya lebih banyak kepada kelompok masyarakat yang paling membutuhkan. Ini berarti tidak selalu menguntungkan mayoritas penerima manfaat (desa secara keseluruhan), tetapi pemenuhan kebutuhan dan prioritas kelompok yang seringkali tidak memiliki akses dan suara. Yang perlu diperhatikan, meskipun dalam jangka pendek, mayoritas mungkin menganggap mereka tidak secara langsung mendapatkan keuntungan, tetapi dalam jangka panjang alokasi ini akan mendorong kohesi sosial yang lebih besar, inklusi dan stabilitas. Ini juga akan mendorong keuntungan ekonomi bagai masyarakat desa secara keseluruhan karena kelompok masyarakat yang sebelumnya tidak dapat berpartisipasi sekarang dapat terlibat dalam dan berkontribusi terhadap ekonomi lokal masyarakat.
Sedangkan dari sisi prosedural affirmasi berarti melibatkan kelompok masyarakat yang menjadi target alokasi -terutama masyarakat miskin dan tereksklusi secara sosial politik- dalam proses pembuatan keputusan untuk alokasi anggaran melalui wahana-wahana yang telah tersedia seperti akses terhadap informasi desa, terlibat dalam musyawarah desa, dan terlibat dalam pelaksanaan dan monitoring pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Ini tidak mudah, membutuhkan pendidikan, penguatan, pengorganisasi dan pendampingan terhadap kelompok ini baik dari dalam desa – terutama melalui perangkat dan kader desa- maupun melalui pendampingan dari pihak luar. Dalam hal ini, pengusasaan kader desa dan pendamping dalam metode partisipasi menjadi sangat penting.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung ke situs ini. Silahkan isi komentar/tanggapan anda